Sunday, May 5, 2013

MALALAK KA KAMPUANG IMAM BONJOL

Diposkan oleh KADRY BONJOLY di 5:52 PM

  
 
OLEH : KADRY BONJOLY

Nagari Bonjol hanyalah kampung kacil. Namun, pernah melahirkan tokoh besar, dialah Pahlawan Nasional Tuanku Imam Bonjol. Di Bonjol pula pernah berawal sejarah kejayaan Islam, masa dimana syariah benar-benar ditegakkan hingga ke pelosok ranah Minang.
Banyak jalan menuju kampung Bonjol ( kampung penulis sendiri). Saat berangkat menuju kampung bersejarah yang terletak di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat itu, penulis dan kawan-kawan sengaja menempuh rute yang berbeda dengan rute yang ditempuh saat biasanya yang penulis lalui
Kami berangkat dengan menempuh rute Bukittinggi-Matur-Palembayan-Panti sejauhkurang lebih 360 km. Sedangkan saat kembali ke Batusangkar, Penulis  menempuh perjalanan yang jauh lebih singkat, Kurang lebih 170 km, dengan rute Bonjol-Kumpulan-Palupuh-Simpang Gadut-Bukittinggi. Sepanjang perjalanan menuju Bonjol, dengan mudah ditemukan masjid dan surau untuk menunaikan shalat dan beristirahat sejenak. Demikian pula rumah makan dengan masakan khas gulai ikan rao dan buah khas pisang ameh mangguang. Yang seru tentulah menikmati keindahan panorama alam sepanjang perjalanan. “Penasaran kan???”
Hari masih pagi ketika kendaraan roda empat Penulis  meninggalkan kota Bukittinggi menuju Matur. Jalan yang ditempuh cukup mulus, namun arus kendaraan di jalur utama Bukittinggi-Maninjau ini cukup padat. Perjalanan ini cukup mengasyikan. Di kedua sisi jalan, terbentang panorama alam ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan. Di sebelah kiri, tampak gunung Singgalang membiru dengan puncaknya yang masih ditempeli gugusan awan membentuk kapas yang bergelayutan. Areal persawahan terhampar luas di sebelah kanan jalan. Hamparan ini bagaikan lautan permadani yang berujung nun di bibir Ngarai Sianok.
Perjalanan berlanjut dari Matur ke Palembayan. Di jalur ini kami menempuh jalan sempit dan penuh tikungan tajam yang membuat sopir Travel yang saya tompangi  harus ekstra waspada. Penulis menyusuri lereng perbukitan Matur yang dipenuhi tanaman tebu dan pinus. Di bawahnya tampak sungai Batang Masang yang mengalir tenang. Kawasan ini sarat dengan sejarah masa lalu yang masih terpendam. Di kampung Laman Gadang di Lembah Matur, masih berdiri Surau Tuo dengan sumber mata air yang tak pernah kering. Surau ini pernah dijadikan salah satu basis gerakan dakwah kaum Paderi. Demikian pula dengan kampung kecil di pinggir Batang Masang. Di sinilah dulu), disembunyikan orang-orang kampung, sehingga dia luput dari kejaran tentara Soekarno yang dikerahkan untuk menangkapi para tokoh pejuang PRRI.
Hari mulai gelap ketika Penulis dan kawan-kawan meninggalkan Simpang Empat menuju Panti. Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Cukup mendebarkan, karena di jalur ini kami menempuh jalan yang berada persis di bibir jurang. Sangat dalam jurang ini, mungkin karena itu pula diberi nama Lurah Barangin. Kawasan ini ditumbuhi hutan lebat dan telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam, kendati tak luput dari aksi pembabatan liar. Sebenarnya Bonjol sudah tidak jauh lagi, sayangnya hari sudah malam, tak mungkin melihat keunikan Bonjol dalam kegelapan. Kami memutuskan menginap di losmen sederhana, persis di belakang terminal bus Panti.
Di pusat Kecamatan Panti, pagi itu kami harus memilih salah satu dari dua jalan. Bila terus ke kiri, kami akan sampai di Bonjol, tapi bila ke kanan berarti kami menuju Rao. Ini juga kampung bersejarah yang terkenal dengan tokoh Tuanku Rao. Dialah salah satu panglima perang Paderi yang berhasil mengembangkan Islam ke arah Utara, hingga ke pinggiran Danau Toba. Sebagaimana tujuan awal, kami memilih jalan menuju Bonjol. Jalannya beraspal mulus dan cukup lebar, sehingga kendaraan dapat dipacu kencang. Kurang satu jam, sudah sampai di Rimbo Panti. Kawasan ini merupakan cagar alam yang menjadi objek wisata terkemuka di Pasaman. Di sini terdapat sumber mata air panas, dan pengunjung dapat merebus telur dengan mudah.
Ketika kami tiba di Kampung Bonjol, pintu gerbang museum Imam Bonjol masih tertutup. Entah dari mana, seorang lelaki paruh baya tiba-tiba muncul dengan membawa kunci dan mempersilakan kami masuk dan penulis mengenal sosok itu “ karena sudah sering nongkrong ditempat ini”. Museum Tuanku Imam Bonjol berdiri di atas areal seluas dua hektar. Letaknya memanjang, terdiri dari dua lantai dengan konstruksi atap bagonjong, bangunan khas Minangkabau. Lantai bawah dibagi menjadi dua ruangan yang dipisahkan oleh anak tangga menuju lantai atas. Satu ruangan digunakan untuk pameran foto-foto lama yang terkait dengan Imam Bonjol dan gerakan Paderi. Di sini juga dapat disaksikan bagan silsilah keturunan Imam Bonjol. Satu ruangan di sebelahnya, digunakan sebagai perpustakaan umum berisi buku-buku sejarah terkait dengan sejarah Imam Bonjol dan gerakan Paderi. Ada pula dokumen tertulis seperti Surat Keputusan Presiden Soeharto tentang penetapan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional. Buku-buku agama dan adat budaya Minangkabau, juga tersedia di sini.
Setelah menapaki anak tangga ke lantai atas, kami dapat menyaksikan banyak benda-benda bersejarah terpajang dalam etalase kaca. Mulai dari sorban, jubah hingga sajadahnya Imam Bonjol. Paling menarik tentulah berbagai jenis persenjataan milik Laskar Paderi, seperti bermacam senjata laras pendek dan laras panjang serta berbagai jenis sewah, seperti pedang, parang, tombak dan panah. Sejarah mencatat, disamping ahli berperang, laskar Paderi juga dikenal ahli membuat persenjataan. Pabrik senjata Paderi terbesar dan termoderen untuk ukuran saat itu, terletak di Sungaipua Kabupaten Agam. Di halaman museum terdapat sebuah Tugu Imam Bonjol sedang menunggang kuda. Tak seberapa jauh dari museum terletak di Bukit Tajadi yang berada persis di belakang pasar kampung. Inilah bekas benteng pertahanan Paderi yang terkenal itu. Sayangnya, tidak terawat sehingga nyaris tak bersisa lagi. Yang tinggal hanya hamparan undakan tanah dikelilingi pohon aur berduri. Di bawahnya terdapat meriam bekas perang Paderi. Senjata berat itu tertimbun dalam tanah, yang tampak tinggal moncong meriam saja.
Berkunjung ke Bonjol tak sekadar menemukan sekelumit sejarah masa silam saja. Kawasan ini juga memiliki keunikan yang lain. Persis di depan museum Imam Bonjol, terdapat tugu Equator berbentuk bola dunia. Bila kunjungan bertepatan dengan hari kejadiannya (Hari Ekinos), maka jangan kaget bila beberapa saat Anda tidak akan punya bayang-bayang, kendati sinar terik matahari menimpa tubuh Anda. Sesungguhnya, bayang-bayang bisa hilang hanyalah fenomena alam yang lumrah. Allah mentakdirkan Bonjol menjadi satu dari dua titik di Indonesia (satunya lagi di Palangkaraya) yang persis berada di garis Khatulistiwa. Peristiwa hilangnya bayang-bayang disebabkan matahari tepat berada pada titik kulminasi. Peristiwa ini hanya terjadi dua kali setahun, yakni pada 21 Maret dan 23 September. Nah, silahkan mencoba dan selamat melakukan perjalanan di kampung Bonjol. Penulis akan sengat sekali menyambut kedatangan pembaca.

0 komentar:

 

Kadri Bonjoly's Blog Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos