BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang medik, kehidupan seorang
pasien bisa diperpanjang dan hal ini seringkali membuat para dokter dihadapkan
pada sebuah dilema untuk memberikan bantuan tersebut apa tidak dan jika sudah
terlanjur diberikan bolehkah untuk dihentikan.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang pasien, padahal jika dilihat lagi hal itu sudah tidak bisa dilanjutkan lagi dan jika hal itu diteruskan maka kadang akan menambah penderitaan seorang pasien. Nah, penghentian pertolongan tersebut merupakan salah satu bentuk euthanasia.
Berdasarkan pada cara
terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian kedalam tiga jenis:
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
1. Orthothansia, merupakan kematian yang terjadi karena proses alamiah
2. Dysthanasia, adalah kematian yang terjadi secara tidak wajar
3. Euthanasia, adalah kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.
B. Tujuan
Adapun tujuan
dari pembuatan makalah ini adalah
1.
Untuk memahami
pengertian euthanasia
2.
Untuk mengetahui
macam-macamnya
3.
Untuk menjelaskan
pandangan/tinjauan hukum Islam
BAB II
PEMBAHASAN
- Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu
yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity,
dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat
diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia
tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa
seseorang.
Menurut
Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan
Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan
bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita’(dikutip dari 5). Sejak abad
19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan
pada umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter. [1]
Pengertian euthanasia ialah tindakan memudahkan kematian
seseorang dengan sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan
tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negative, dan biasanya tindakan ini dilakukan oleh kalangan medis.[2]
Jadi Euthanasia adalah suatu tindakan pembunuhan tanpa
rasa sakit kepada seseorang yang memiliki penyakit yang tak tersembuhkan dengan
tujuan meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun
negative yang biasanya dilakukan oleh kalangan medis.
Dilihat dari segi
orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri,
permintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien masih sadar),
atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien sudah tidak sadar).
- Macam-Macam Euthanasia
Ada dua macam Euthanasia yaitu:
1.
Euthanasia Aktif
Suatu tindakan mempercepat proses kematian, baik dengan
memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti :
melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan lain-lain. Yang
termasuk tindakan mempercepat proses kematian disini adalah : jika kondisi
pasien, berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan adanya
harapan hidup. Tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika
tindakan itu dilakukan.
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter
memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat
menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus.
2.
Euthanasia Pasif
Suatu tindakan membiarkan pasien/penderita yang dalam
keadaan tidak sadar (comma), karena berdasarkan pengamalan maupun ukuran medis
sudah tidak ada harapan hidup, atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi
padanya, mungkin karena salah satu organ pentingnya sudah rusak atau lemah
seperti : bocornya pembuluh darah yang menghubungkan ke otak (stroke) akibat
tekanan darah terlalu tinggi, tidak berfungsinya jantung.
Alasan yang
lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas,
sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi
pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat
tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan
pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh.
Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi
ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi
(Utomo, 2003:176).
Contoh euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo, 2003:177).[3]
3.
Euthanasia Volunteer
penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat
kematian atas permintaan pasien.
4.
Euthanasia Involunter
Jenis euthanasia yang dilakukan pada
pasien dalam kedaan tidak sadar di mana tidak mungkin untuk menyampaikan
keinginannya.Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas
penghentian bantuan pengobatan.Perbuatan ini sulit dibedakan dengan pembunuhan
kriminal.[4]
- Pandangan/ Tinjauan Hukum Islam, Maslahah dan Mafsadat
Syariah
Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di
segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik
euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
1. Euthanasia Aktif
1. Euthanasia Aktif
Syariah
Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan
penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien
sendiri atau keluarganya.Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu
dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain,
maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan
tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali
karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan
janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan
euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan
sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa
besar.
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah).
Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah).
Namun
jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan
memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua
pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman
Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat
untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya
dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki,
1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang
perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar =
4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham =
2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak
dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan
melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya.
Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada
aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan
mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan
manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya yaitu
pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang
muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun
penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan
atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
2. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk
dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan
keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan
tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut
Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini
berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya
untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan
itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas
(sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits
di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu
Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li
ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul
: Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
Jadi,
hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu
tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan,
qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di
atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari).
Hadits
di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini
menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan
demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal
ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Abdul Qadim Zallum (1998:69)
mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati
organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ
vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien –setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun
untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien,
walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan
mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib
diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 :
522-523).
Wallahu a’lam.[5]
Wallahu a’lam.[5]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Euthanasia adalah tindakan
agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal
diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam
kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.
Dalam praktek kedokteran,
dikenal dua macam euthanasia yaitu:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif
adalah tindakan dokter mempercepat kematian pasien dengan memberikan suntikan
kedalam tubuh pasien tersebut.
2. Euthanasia pasif
Euthanasia pasif adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
B.
Saran
Dalam penulisan
makalah ini, penulis merasa masih terdapat kekurangan-kekurangan, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca agar tulisan ini dapat
disempurnakan.
[2] http://walausetitik.blogspot.com/2007/09/euthanasia-menurut-hukum-islam.html Diakses tanggal 10 April 2012
[3] http://www.idonbiu.com/2009/05/pengertian-euthanasia-dan-macam.html Diakses tanggal 10 April 2012
[4] http://www.akupercaya.com/diskusi-general/1260-euthanasia-membunuh-apa-menolong-5.html Diakses tanggal 10 April 2012
[5]http://www.mailarchive.com/keluargaislam@yahoogroups.com/msg01238.html Diakses tanggal 10 April 2012
0 komentar:
Post a Comment