OLEH : KADRY BONJOLY
Nagari Bonjol
hanyalah kampung kacil. Namun, pernah melahirkan tokoh besar, dialah Pahlawan
Nasional Tuanku Imam Bonjol. Di Bonjol pula pernah berawal sejarah kejayaan
Islam, masa dimana syariah benar-benar ditegakkan hingga ke pelosok ranah
Minang.
Banyak jalan
menuju kampung Bonjol ( kampung penulis sendiri). Saat berangkat menuju kampung
bersejarah yang terletak di Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat itu, penulis dan
kawan-kawan sengaja menempuh rute yang berbeda dengan rute yang ditempuh saat
biasanya yang penulis lalui
Kami
berangkat dengan menempuh rute Bukittinggi-Matur-Palembayan-Panti sejauhkurang
lebih 360 km. Sedangkan saat kembali ke Batusangkar, Penulis menempuh perjalanan yang jauh lebih singkat,
Kurang lebih 170 km, dengan rute Bonjol-Kumpulan-Palupuh-Simpang
Gadut-Bukittinggi. Sepanjang perjalanan menuju Bonjol, dengan mudah ditemukan
masjid dan surau untuk menunaikan shalat dan beristirahat sejenak. Demikian
pula rumah makan dengan masakan khas gulai ikan rao dan buah khas pisang ameh
mangguang. Yang seru tentulah menikmati keindahan panorama alam sepanjang
perjalanan. “Penasaran kan???”
Hari masih
pagi ketika kendaraan roda empat Penulis
meninggalkan kota Bukittinggi menuju Matur. Jalan yang ditempuh cukup
mulus, namun arus kendaraan di jalur utama Bukittinggi-Maninjau ini cukup
padat. Perjalanan ini cukup mengasyikan. Di kedua sisi jalan, terbentang
panorama alam ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menakjubkan. Di sebelah
kiri, tampak gunung Singgalang membiru dengan puncaknya yang masih ditempeli
gugusan awan membentuk kapas yang bergelayutan. Areal persawahan terhampar luas
di sebelah kanan jalan. Hamparan ini bagaikan lautan permadani yang berujung
nun di bibir Ngarai Sianok.
Perjalanan
berlanjut dari Matur ke Palembayan. Di jalur ini kami menempuh jalan sempit dan
penuh tikungan tajam yang membuat sopir Travel yang saya tompangi harus ekstra waspada. Penulis menyusuri
lereng perbukitan Matur yang dipenuhi tanaman tebu dan pinus. Di bawahnya
tampak sungai Batang Masang yang mengalir tenang. Kawasan ini sarat dengan
sejarah masa lalu yang masih terpendam. Di kampung Laman Gadang di Lembah
Matur, masih berdiri Surau Tuo dengan sumber mata air yang tak pernah kering.
Surau ini pernah dijadikan salah satu basis gerakan dakwah kaum Paderi.
Demikian pula dengan kampung kecil di pinggir Batang Masang. Di sinilah dulu),
disembunyikan orang-orang kampung, sehingga dia luput dari kejaran tentara
Soekarno yang dikerahkan untuk menangkapi para tokoh pejuang PRRI.
Hari mulai
gelap ketika Penulis dan kawan-kawan meninggalkan Simpang Empat menuju Panti.
Tak lama kemudian hujan turun dengan derasnya. Cukup mendebarkan, karena di
jalur ini kami menempuh jalan yang berada persis di bibir jurang. Sangat dalam
jurang ini, mungkin karena itu pula diberi nama Lurah Barangin. Kawasan ini
ditumbuhi hutan lebat dan telah ditetapkan sebagai kawasan cagar alam, kendati
tak luput dari aksi pembabatan liar. Sebenarnya Bonjol sudah tidak jauh lagi, sayangnya
hari sudah malam, tak mungkin melihat keunikan Bonjol dalam kegelapan. Kami
memutuskan menginap di losmen sederhana, persis di belakang terminal bus Panti.
Di pusat
Kecamatan Panti, pagi itu kami harus memilih salah satu dari dua jalan. Bila
terus ke kiri, kami akan sampai di Bonjol, tapi bila ke kanan berarti kami
menuju Rao. Ini juga kampung bersejarah yang terkenal dengan tokoh Tuanku Rao.
Dialah salah satu panglima perang Paderi yang berhasil mengembangkan Islam ke
arah Utara, hingga ke pinggiran Danau Toba. Sebagaimana tujuan awal, kami
memilih jalan menuju Bonjol. Jalannya beraspal mulus dan cukup lebar, sehingga
kendaraan dapat dipacu kencang. Kurang satu jam, sudah sampai di Rimbo Panti.
Kawasan ini merupakan cagar alam yang menjadi objek wisata terkemuka di
Pasaman. Di sini terdapat sumber mata air panas, dan pengunjung dapat merebus
telur dengan mudah.
Ketika kami
tiba di Kampung Bonjol, pintu gerbang museum Imam Bonjol masih tertutup. Entah
dari mana, seorang lelaki paruh baya tiba-tiba muncul dengan membawa kunci dan
mempersilakan kami masuk dan penulis mengenal sosok itu “ karena sudah
sering nongkrong ditempat ini”. Museum Tuanku Imam Bonjol berdiri di atas
areal seluas dua hektar. Letaknya memanjang, terdiri dari dua lantai dengan
konstruksi atap bagonjong, bangunan khas Minangkabau. Lantai bawah dibagi
menjadi dua ruangan yang dipisahkan oleh anak tangga menuju lantai atas. Satu
ruangan digunakan untuk pameran foto-foto lama yang terkait dengan Imam Bonjol
dan gerakan Paderi. Di sini juga dapat disaksikan bagan silsilah keturunan Imam
Bonjol. Satu ruangan di sebelahnya, digunakan sebagai perpustakaan umum berisi
buku-buku sejarah terkait dengan sejarah Imam Bonjol dan gerakan Paderi. Ada
pula dokumen tertulis seperti Surat Keputusan Presiden Soeharto tentang
penetapan Tuanku Imam Bonjol sebagai Pahlawan Nasional. Buku-buku agama dan
adat budaya Minangkabau, juga tersedia di sini.
Setelah
menapaki anak tangga ke lantai atas, kami dapat menyaksikan banyak benda-benda
bersejarah terpajang dalam etalase kaca. Mulai dari sorban, jubah hingga
sajadahnya Imam Bonjol. Paling menarik tentulah berbagai jenis persenjataan
milik Laskar Paderi, seperti bermacam senjata laras pendek dan laras panjang
serta berbagai jenis sewah, seperti pedang, parang, tombak dan panah. Sejarah
mencatat, disamping ahli berperang, laskar Paderi juga dikenal ahli membuat
persenjataan. Pabrik senjata Paderi terbesar dan termoderen untuk ukuran saat
itu, terletak di Sungaipua Kabupaten Agam. Di halaman museum terdapat sebuah Tugu
Imam Bonjol sedang menunggang kuda. Tak seberapa jauh dari museum terletak di
Bukit Tajadi yang berada persis di belakang pasar kampung. Inilah bekas benteng
pertahanan Paderi yang terkenal itu. Sayangnya, tidak terawat sehingga nyaris
tak bersisa lagi. Yang tinggal hanya hamparan undakan tanah dikelilingi pohon
aur berduri. Di bawahnya terdapat meriam bekas perang Paderi. Senjata berat itu
tertimbun dalam tanah, yang tampak tinggal moncong meriam saja.
Berkunjung ke
Bonjol tak sekadar menemukan sekelumit sejarah masa silam saja. Kawasan ini
juga memiliki keunikan yang lain. Persis di depan museum Imam Bonjol, terdapat
tugu Equator berbentuk bola dunia. Bila kunjungan bertepatan dengan hari
kejadiannya (Hari Ekinos), maka jangan kaget bila beberapa saat Anda tidak akan
punya bayang-bayang, kendati sinar terik matahari menimpa tubuh Anda.
Sesungguhnya, bayang-bayang bisa hilang hanyalah fenomena alam yang lumrah.
Allah mentakdirkan Bonjol menjadi satu dari dua titik di Indonesia (satunya
lagi di Palangkaraya) yang persis berada di garis Khatulistiwa. Peristiwa
hilangnya bayang-bayang disebabkan matahari tepat berada pada titik kulminasi.
Peristiwa ini hanya terjadi dua kali setahun, yakni pada 21 Maret dan 23
September. Nah, silahkan mencoba dan selamat melakukan perjalanan di kampung
Bonjol. Penulis akan sengat sekali menyambut kedatangan pembaca.
0 komentar:
Post a Comment