A.
Akselerasi Stakeholders Pendidikan di Persekolahan
Stakeholders
Pendidikan merupakan kelompok kepentingan yang akan menentukan berbagai
kebijakan sektor pendidikan. Pendidikan saat ini tidak saja dianggap sebagai
lembaga yang hanya berperan dalam meningkatkan kecerdasan peserta didik
sehingga pihak lain tidak dapat mencampuri apalagi melakukan intervensi
terhadap kebijakan persekolahan. Intervensi yang dimaksud disini adalah adanya
peluang yang besar bagi kelompok kepentingan atau stakebolders dalam
menentukan arah kebijakan dan segala sesuatu yang harus dilakukan oleh
persekolahan.
Jika mengacu kepada konsep total
quality management (TQM), jelas sekali disebutkan bahwa persekolahan harus
memperhatikan apa yang diinginkan dan yang dibutuhkan oleh pelanggan atau
pengguna jasa pendidikan. Persekolahan diharuskan menepatkan bebagai kelompok
kepentingan tersebut sebagai pelanggan pendidikan, atau yang lebih popular saat
ini disebut dengan stekebolders pendidikan. Posisi stakebolders pendidikan
tentu saja harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya,
karena itu, persekolah setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara
kepentingan stakebolders dengan kepentingan persekolahan tersebut.
Posisi stakebolders pendidikan tentu saja harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya, karena itu persekolahan setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara kepentingan stakebolders dengan kepentingan persekolahan tersebut. Tuntunan pengguna jasa pendidikan yang begitu besar terhadap persekolahan setiap saat melakukan pembeharuan. Apalagi saat ini era globalisasi mengharuskan lulusan persekolahan dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan yang berdimensi local, regional, dan global. Lulusan lembaga persekolahan yang tidak dapat menyesuaikan dengan era globalisasi, mengakibatkan persekolahan dianggap tidak mampu menempatkan lulusannya dalam pergaulan global. Tuntunan yang adakalanya tidak diperhatikan persekolahan inilah yang mengakibatkan persekolahan diharuskan inovatif dalam menyahuti tuntunan globalisasi tersebut.
Posisi stakebolders pendidikan tentu saja harus memperhatikan apa yang dibutuhkan serta yang diinginkannya, karena itu persekolahan setiap saat diwajibkan mampu menjadi jembatan antara kepentingan stakebolders dengan kepentingan persekolahan tersebut. Tuntunan pengguna jasa pendidikan yang begitu besar terhadap persekolahan setiap saat melakukan pembeharuan. Apalagi saat ini era globalisasi mengharuskan lulusan persekolahan dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan yang berdimensi local, regional, dan global. Lulusan lembaga persekolahan yang tidak dapat menyesuaikan dengan era globalisasi, mengakibatkan persekolahan dianggap tidak mampu menempatkan lulusannya dalam pergaulan global. Tuntunan yang adakalanya tidak diperhatikan persekolahan inilah yang mengakibatkan persekolahan diharuskan inovatif dalam menyahuti tuntunan globalisasi tersebut.
Menurut
Tilaar (1999:358), kondisi yang mencetuskan konsep-konsep inovasi yang dituntut
dalam era globalisasi adalah [1]:
1. Di
dalam era globalisasi kita berada dalam suatu masyarakat yang kompetitif.
Artinya pribadi dan masyarakat berada di dalam kondisi untuk menghasilkan sesuatu
yang terbaik dan berkualitas.
2. Masyarakat
didalam era globalisasi menuntut kualitas yang tinggi baik di dalam jasa,
barang, maupun investasi modal. Kualitas berada diatas kuantitas.
3. Era
globalisasi merupakan suatu era informasi dengan sarana-sarananya yang dikenal
sebagai information superhighway.
Oleh sebab itu pemanfaatan information
superhighway merupakan suatu kebutuhan masyarakat modrn dan dengan demikian
perlu dikuasai anggota masyarakat.
4. Era
globalisasi merupakan era komunikasi yang sangat cepat dan canggih. Oleh sebab
itu penguasaan terhadap sarana-sarana komunikasi seperti bahasa, merupakan
syarat muthlak.
5. Era
globalisasi ditandai oleh maraknya kehidupan bisnis, oleh sebab itu kemampuan
bisnis, manajer, merupakan tuntutan masyarakat masa depan.
6. Era
globalisasi merupakan era teknelogi dan oleh sebab itu anggota-anggota
masyarakatnya haruslah merek digital.
Konsep-kensep
inovatif tersebut mau tidak mau mempengaruhi penyelenggaraan persekolahan pada
saat ini. Karena itu, stakebolders pendidikan
diberi peluang dan kesempatan yang luas dalam menentukan kebijakan persekolahan
secara teruktur dan proporsional. Berikut ini akan diuraikan secara singkat
pembaruan pendidikan yang berdimensi inovatif sebagai implikasi dari akselarasi
dan tuntutan stakeholders pendidikan terhadap persekolahan[2]
yaitu :
o
Manajemen
berbasis sekolah (MBS)
o
Life
skill
o
Contextual
teaching and learning, (CTL).
B. Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah.
Untuk menyahuti perkembangan social,
politik, ekonomi dan budaya global yang telah mempengaruhi hidup dan kehidupan
saat ini dan masa depan, pendidikan diharuskan bersikap responsif dan pro aktif
terhadap tuntutan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan persekolahan.
Tuntutan tersebut adalah agar dunia pendidikan persekolahan dapat memberikan
layanan prima terhadap pelanggan atau pengguna jasa pendidikan tersebut.
Salah satu upaya untuk menjaring
keterlibatan masyarakat dalam persekolahan adalah apa yang saat ini disebut
dengan konsep manajemen berbasis sekolah (MBS) yang merupakan terjemah dari Scholl Based Management. Dalam
operasionalnya, manajemen berbasis sekolah biasa disebut dengan manajemen
pendidikan berbasis sekolah (MPBS). MPBS merupakan alternative baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih
menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah.
Dalam buku manajemen Peningkatan
Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah
Umum, Dirjen Dikdasmen, Depdiknas (1999:6-7) diungkapkan beberapa indicator
yang menjadi karakteistik dari konsep MPBS sekaligus merefleksikan peran dan
tanggung jawab masing0masing pihak antara lain sebagai berikut :
1) Lingkungan
sekolah yang aman dan tertib.
2) Sekolah
memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai
3) Sekolah
memilki kepemimpinan yang kuat
4) Adanya
harapan yang tinggi dari personil sekolah
5) Adanya
pengembangan staf sekolah yang terus meneru sesuai tuntutan IPTEK.
6) Adanya
pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan
administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan
mutu
7) Adanya
komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua dan masyarakat lainnya.
Ciri-ciri
yang dapat dengan mudah dikenali untuk mengetahui untuk mengetahui apakah
sekolah telah berhasil menggunakan pendekatan MPBS adalah dengan melihat
sejauhmana sekolah dapat mengotimalkan kinerja organisasi sekolah, kegiatan
proses pembelajaran (PBM), pengolaan SDM, dan pengolaan sumber daya
administrasi lainnya[3]. Namun perlu disadari bahwa MPBS tidak mungkin dapat mendongkrak
kualitas pendidikan apabila tidak didukung faktor lainnya. Keberhasilan sangat
dipengaruhi dan ditentukan oleh sejumlah faktor lainnya, yaitu:
a.
Tingkat
kemampuan ekonomi masyrakat
b.
Sosial
budaya dan politik
c.
Taraf
pendidikan masyarakat
d.
Kebijakan
pemerintah
e.
Organisasi
dan kepemimpinan kepala sekolah
f.
Strategi
pembelajaran di kelas
g.
Tata
laksana sekolah serta profesionalisme guru
h.
Tenaga
kependidikan lainnya.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa minimal ada 6 persyaratan
yang perlu dipenuhi dalam menerapkan MPBS tersebut, yaitu :
o
Pemilihan
kepala sekolah dan guru profesional
o
Bentuk
partisipasi orangtua
o
Motivasi
dan kemauan orang tua
o
Kemampuan
alokasi dana/keuangan
o
Kualitas
pembelajaran dan hasil lulusan
o
Dan
keterlibatan semua stakebolders pendidikan
Sebagai tolak ukur dari keberhasilan implementasi MPBS, telah
ditetapkan 16 indikator keberhasilannya meliputi :
1)
Efektivitas
proses pembelajaran
2)
Kepemimpinan
sekolah yang kuat
3)
Pengelolaan
tenaga kependidikan yang efektif
4)
Sekolah
memilki budaya mutu
5)
Sekolah
memilki “team work” yang kompak, cerdas, dan dinamis
6)
Sekolah
memilki kemandirian
7)
Partisipasi
warga sekolah dan masyarakat tinggi
8)
Sekolah
memilki transparansi
9)
Sekolah
memiliki kemauan untuk berubah, baik fsikologis maupun fisik
10)
Sekolah
melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan
11)
Sekolah
responsive dan antisipasif terhadap kebutuhan
12)
Sekolah
memilki akuntabilitas
13)
Sekolah
memilki sustainabilitas
14)
Output
adalah prestasi sekolah
15)
Penekanan
angka drop-out, da
16)
Kepuasan
staf sesuai dengan tugas dan kewenangannya.
Selama ini memang terkesan bahwa antara sekolah dengan masyarakat
seolah-olah terpisahkan oleh jurang yang dalam sehingga hubungan keduanya tidak
harmonis bahkan sering muncul sikap ketidakpedulian.
Tujuan Manajemen Pendidikan Berbasis
Sekolah
Tujuan utama MPBS adalah meningkatkan efisiensi, mutu dan
pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi antara lain, diperoleh melalui
keleluasan mengelola sumberdaya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan
birokrasi. Melalaui partisipasi orang tua terhadap sekolah fleksibilitas
pengeolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepla
sekolah, berlakunya system insentif dan disentif. Peningkataan pemerataan
antara lain diproleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang
memungkinkan pemerintah lebih berkonsetrasi pada kelompok tertentu. Hal ini
dimungkinkan karena pada sebagian masyarakat tumbuh rasa kepemilikkan yang
tinggi terhadap sekolah.
Manajemen berbasis sekolah juga bertujuan untuk mendirikan
atau memberdayakan sekolah melalui pemberian kewenangan, keluesan dan
sumberdaya untuk meningkatkan mutu sekolah. Dengan diberikannya kesempatan
kepada sekolah untuk mengembangkan kurikulum, guru didorong untuk berinovasi,
dengan mlakukan eksperimentasi-eksperimentasi dilingkungan sekolah[4]
Hal yang paling penting dalam implementasi manajemen
berbasis sekolah adalah manajemen terhadap komponen-komponen sekolah itu
sendiri. Dr.E. Mulayasa, M. pd mengungkapkan sekurang-kurangnya ada tujuh
komponen yang harus dikelola dengan baik dalam rangka MBS.
1. Kurikulum dan Program Pembelajaran
Manajemen
kurikulum dan program pembelajaran mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan
dan penilaian kurikulum. Perencanaan dan pengembangan kurikulum nasional pada
umunya telah dilakukan oleh departemen pada tingkat pusat. Karena itu level
sekolah yang paling penting adalah bagaimana merealisasikan dan menyesuaikan
kurikulum tersebut dengan kegiatan pembelajaran.
2. Tenaga Kependidikan
Manajemen kependidikan mencakup:
· Perencanaan pegawai
· Pengadaan pegawai
· Pembinaan dan pengembangan pegawai
· Promosi dan mutasi
· Pemberhentian pegawai
· Kompensasi
3. Kesiswaan
Manajemen kesiswaan merupakan salah
satu bidang oprasional MBS, yaitu peranan dan pengaturan terhadap kegiatan yang
berkaitan dengan peserta didik, mulai masuk sampai keluarnya peserta didik dari
suatu sekolah. Manajemen kesiswaan bukan hanya berbentuk pencatatan data
peserta didik, melainkan meliputi aspek yang lebih luas yang secara operasional
dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik melalui proses
pendidikan di sekolah[5]
4. Pembiayaan
Dalam rangka implementasi MBS,
manajemen keuangan harus dilaksanakan dengan baik dan teliti mulai dari tahap
penyusunan anggaran, penggunaan, sampai pengawasan dan pertanggungjawaban
sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar dana sekolah benar-benar dapat
dimanfaatkan secara efektif, efisien, dan tidak ada kebocoran-kebocoran, serta
bebas dari penyakit korupsi, kolusi, dan nepotisme.
5. Sarana dan Prasarana Pendidikan
Manajemen sarana dan prasarana
bertugas mengatur dan menjaga sarana dan prasarana pendidikan agar dapat
memberikan konstribusi secara optimal pada jalannya proses pendidikan.
6. Pengelolaan Hubungan Sekolah dan
Masyarakat
Sekolah dan masyarakat memilki
hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara
efektif dan efisien.
7. Manajemen Pelayanan Khusus Lembaga
Pendidikan
Manajemen khusus meliputi manajemen
perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah.
B.
Life
Skill (Kecakapan Hidup)
Istilah
Kecakapan Hidup (life skills) diartikan sebagai kecakapan yang
dimiliki seseorang untuk mau dan berani menghadapi problema hidup dan
penghidupan secara wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara proaktif dan
kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasinya (Dirjen
PLSP, Direktorat Tenaga Teknis, 2003).
Brolin (1989) menjelaskan bahwa, “Life skills
constitute a continuum of knowledge and aptitude that are necessary for a
person to function effectively and to avoid interruptions of employment
experience”. Dengan demikian life skills dapat dinyatakan sebagai
kecakapan untuk hidup. Istilah hidup, tidak semata-mata memiliki kemampuan
tertentu saja (vocational job), namun ia harus memiliki kemampuan dasar
pendukungnya secara fungsional seperti : membaca, menulis, menghitung,
merumuskan, dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam tim,
terus belajar di tempat kerja, mempergunakan teknologi (Satori, 2002).[6]
Secara umum pendidikan yang beroriantasi pada kecakapan hidup
bertujuan memfungsikan pendidikan sesuai dengan fithrahnya, yaitu mengembangkan
potensi manusiawi peserta didik untuk menghadapi perannya dimasa mendatang.
Kecakapan hidup dapat dipilah menjadi 4 jenis[7] :
1.
Kecakapan
Personal (personal skill), yang mencakup kecakapan mengenal diri (self awereness)
dan kecakapan berpikir rasional (thinking skill).
2.
Kecakapan
social (social skill)
3.
Kecakapan
akademik (akademik skill)
4.
Kecakapan
vokasional (vokasional skill)
Kecakapan
mengenal diri itu pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa, anggota masyarakat dan warga Negara, serta
menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, sekaligus
menjadikannya sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang
bermanfaat bagi dirisendiri dan lingkungannya.
Kecakapan
berpikir rasional mencakup antara lain kecakapan menggali dan menemukan
informasi (information searching) , kecakapan mengolah informasi dan
mengambil keputusan, serta kecakapan memecahkan masalah secara kreatif.
Kecakapn
social atau kecakapan antar-personal (inter-personal skill)
mencakup antara lain kecakapan komunikasi dengan empati, dan kecakapan
bekerjasama (collaboration skill). Dua kecakapan hidup yang diuraikan di
atas biasanya disebut sebagai kecakapan hidup yang bersifat umum atau kecakapan
hidup generic (general life skill/GLS). Kecakapan hidup tersebut diperlukan
oleh siapapun, baik mereka yang bekerja, mereka yang tidak bekerja dan mereka
yang sedang menempuh pendidikan.
Kecakapan hidup yang bersifat spesifik
diperlukan seseorang untuk menghadapi problema bidang khusus tertentu.
Untuk mengatasi problema “mobil yang mogok” tentu diperlukan kecakapan khusus
tentang mesin mobil, begitu juga dengan yang lainnya.
Kecakapan
hidup yang bersifat khusus biasanya disebut juga sebagai kompetensi teknis yang
terkait dengan materi mata-pelajaran atau mata-diklat tertentu dan pendekatan
pembelajaranya.
Kecakapan akademik (academic
skill) yang seringkali juga disebut kemampuan berpikir ilmiah pada dasarnya
merupakan pengembangan dari kecakapan berpikir rasional pada GLS.
Kecakapan
vakasional seringkali disebut pula dengan ” kecakapan kejuruan”, artinya
kecakapan yang dikaitkan dengan bidang pekerjaan tertentu yang terdapat di
masyarakat.
Aspek-aspek social
dalam pertumbuhan dan perkembangan masyarakat menjadi kajian yang relavan
terhadap berbagai persoalan yang me-merlukan solusi akurat. Hal ini tentu saja
menjadi salah satu kajian yang harus dilakukan secara intensif agar lembaga
persekolahan tidak mengecewakan pengguna jasanya. Karena itu, life skill atau
kecakapan hidup merupakan bagian terpenting dan harus ditanamkan dalam proses
pembelajaran sehingga potensi ideografik dan nomotetil peserta didik berkembang
secara propesional.
D. Contextual Teaching dan Learning (CTL)
Wilson (2002:4) mengatakan Contextual Teaching and Learning adalah
konsep belajar yang membantu pendidik mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta
didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Pengetahuan dan keterampilan peserta didik
diperoleh dari usaha peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan
keterampilan baru ketika ia belajar.
Kunandar(2010:295) dalam The wagshinton state konsoritium for
contextual teaching and learnig, mengartikan Contextual Teaching and
Learning adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat,
memperluas dan menerapkan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar
sekolah dan diluar sekolah untukmemecahkan seluruh persoalan yang ada dalam
dunia nyata. Pembelajaran kontekstual menjadi ketika peserta didik menerapkan
dan mengalami apa yang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah riil yang
berasosiasi dengan peranan dengan tanggung jawab mereka sebagi anggota
keluarga, masyarakat, peserta didik dan selaku pekerja.
Untuk meningkatkan kemampuan anak didik terhadap fenomena lingkungannya,
dibutuhkan sebuah strategi pengajaran yang dapat memaksimalkan pemahaman anak
dengan lingkungannya tersebut. Karena itu, pembelajaran yang bersifat alamiah
merupakan strategi penting agar anak didik lebih “mengalami” dari pada
“mengetahui”.
Pendekatan CTL menurut Directoret Jenderal Pendidikan Lanjutan
Pertama Depdikna (2002:1), disebutkan bahwa yang dimaksud dengan contextual
teaching dan learning merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan
antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
siswa membuat hubungan anata pengetahuan yang dimilkinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Diantara kelebihannya adalah sebagai berikut :
1.
Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil.
Artinya siswa dituntut untuk dapat menagkap hubungan antara pengalaman belajar
di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan dapat
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja bagi
siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional, akan tetapi materi yang
dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sihingga tidak akan mudah
dilupakan.
2.
Pembelajaran lebih produktif dan mampu
menumbuhkan penguatan konsep kepada siswa karena metode pembelajaran CTL
menganut aliran konstruktivisme, dimana seorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis konstruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui ”mengalami” bukan ”menghafal”.
Diantara kekurangannya adalah sebagai berikut :
1.
Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena
dalam metode CTL. Guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru
adalah mengelola kelas sebagai sebuah tim yang bekerja bersama untuk menemukan
pengetahuan dan ketrampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang sebagai
individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi
oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang dimilikinya. Dengan
demikian, peran guru bukanlah sebagai instruktur atau ” penguasa ” yang memaksa
kehendak melainkan guru adalah pembimbing siswa agar mereka dapat belajar
sesuai dengan tahap perkembangannya.
2.
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide–ide dan mengajak siswa agar dengan
menyadari dan dengan sadar menggunakan strategi–strategi mereka sendiri untuk
belajar. Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan
bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai dengan apa
yang diterapkan semula.
[1]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.86
[1]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.88
[1]
[1]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.91
[1]
Abdul Rachman shaleh, Madrasah dan
Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 227
[1]
Ibid., hlm. 231
[1]
ttp://pkbmpls.wordpress.com/2008/02/06/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills/
[1]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.96
[1]
http://salbima.blogspot.com/2012/03/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
[1]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.86
[2]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.88
[3] [3]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.91
[4]
Abdul Rachman shaleh, Madrasah dan
Pendidikan Anak Bangsa, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 227
[5] Ibid., hlm. 231
[6] ttp://pkbmpls.wordpress.com/2008/02/06/pengertian-pendidikan-kecakapan-hidup-life-skills/
[7]
Drs.H.Muhyi Batubara, M.Sc, Sosiologi Pendidikan (Jakarta:Ciputat Press,
2004) Hal.96
[8] http://salbima.blogspot.com/2012/03/contextual-teaching-and-learning-ctl.html
0 komentar:
Post a Comment